Rabu, 28 September 2011

KANJENG SUNAN KALIJAGA WALI AGUNG TANAH JAWA

Raden Syahid atau yang kemudian bergelar dengan sebutan Sunan Kalijaga adalah merupakan putera dari Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta ini masih keturunan Adipati Ronggolawe teman seperjuangan Raden Wijaya ketika mendirikan Kerajaan Majapahit.

Menurut sebuah sumber cerita, bahwa keturunan Adipati Ronggolawe yang memeluk agama Islam hanyalah Tumenggung Wilatikta sendiri, ayah Raden Syahid.

Diantara para wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pemimpin, pejuang, mubaligh, pujangga dan filosuf. Daerah operasinya tidak terbatas. Kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpatik kepada beliau karena cara beliau menyiarkan agama Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman. Semasa hidupnya, Sunan Kalijaga termasuk wali yang sangat terkenal dan disegani.



Beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Dalam cerita-cerita wayang dimasukkan sebanyak mungkin unsur-unsur keislaman. Hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme atau dengan kata lain masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.

Diantaranya masih suka kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya. Hal inilah yang mendorong Sunan Kalijaga untuk menempuh jalan mengawinkan adat istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam. Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian. Tidak hanya dalam seni suara saja, akan tetapi meliputi seni drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat, dan juga seni kesusasteraan. Banyak corak-corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “Burung” sebagai gambar ilustrasi. Perwujudan burung ini memang sangat indah, akan tetapi lebih indah lagi bila sebagai isyarat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. Di dalam bahasa Kawi burung itu disebut “Kukila”. Dan bila dalam bahasa Arab adalah dari rangkaian kata “Quu” dan “Qiilla” yang artinya “Peliharalah ucapan (mulut) mu”.

Hal ini dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau mendidik dan mengajarkan kepada kita agar selalu baik tutur katanya. Inilah diantaranya jasa Sunan Kalijaga dalam hal seni lukis. Kemudian besar pula jasa beliau dalam hal seni pakaian. Dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama “Baju Takwo”, nama tersebut berasal dari kata “Taqwa” yang artinya ta’at dan patuh kepada Allah SWT. Nama yang simbolik sifatnya ini dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu mengatur cara hidup dan kehidupan kita sesuai dengan tuntunan agama.

ASAL MULA SUNAN KALIJAGA
Sejak masa kanak-kanak Raden Syahid telah menunjukkan kecakapannya dalam berfikir dan berbuat demi kepentingan orang banyak. Raden Syahid dianggap sebagai anak seorang Bupati yang tidak diperbolehkan keluar dari istana dan bergaul bebas dengan rakyat jelata. Tetapi semua peraturan itu telah dilanggar oleh Raden Syahid karena peraturan itu sangat bertentangan dengan isi hatinya. Ia berpendapat bahwa setiap orang memiliki hak sama di mata Tuhan.

Setelah umur Raden Syahid sudah cukup dewasa, maka ia baru mengerti tujuan orang tuanya melarangnya untuk keluar dari Kadipaten. Sebab dengan begitu ia tidak melihat berbagai kepincangan hidup dan penderitaan rakyat. Padahal suasana daerah Tuban dan sekitarnya yang kala itu dibawah kekuasaan Majapahit telah mengalami berbagai kepincangan hidup. Banyak rakyat yang menderita, namun keadaan seperti itu tidak juga memperoleh perhatian dari para penguasa. Bahkan mereka semakin memperberat rakyat dengan kewajiban membayar pajak.
Pada suatu hari Raden Syahid melihat seorang laki-laki tua sedang memakan pucuk daun pisang. Melihat itu, Raden Syahid menghentikan langkahnya dan menghampiri laki-laki tua itu seraya berkata “Apa yang bapak lakukan? Mengapa bapak makan daun pisang?”.
Laki-laki tua itu berhenti sejenak. Dipandangnya Raden Syahid dengan mata nanar.
“Mengapa bapak memandangiku, jawablah pertanyaanku?” Tanya Raden Syahid sekali lagi.
Orang tua itu tidak menjawab pertanyaan Raden Syahid lagi, namun Raden Syahid tidak marah kepadanya. Diulanginya lagi pertanyaannya “Mengapa bapak makan daun pisang?”
Perlahan-lahan bibir orang tua itu bergetar. Dengan suara yang hampir tidak terrdengar ia berkata “Jika aku adalah seorang yang kaya dan tidak kelaparan sepertimu, maka tak mungkin aku makan daun pisang ini”.
Setelah berkata begitu, orang tua itu ambruk tersungkur ke tanah. Sementara Raden Syahid terkejut lalu menghampirinya. Tapi apa yang terjadi, orang tua itu telah mati karena kelaparan. Melihat kejadian itu Raden Syahid meneteskan air mata menangisi kematian orang tua itu. Kemudian dengan susah payah dibawanya mayat orangtua itu ke sebuah kampung terdekat untuk segera dikuburkan.
Setibanya dirumah, Raden Syahid menceritakan pengalamannya itu kepada ibunya. Namun ibunya tidak peduli dengan kenyataan ini, bahkan marah kepada Raden Syahid seraya berkata “Apa urusanmu dengan mereka? Itu bukan urusanmu!”
“Maaf bu, aku senang melihat-lihat keadaan rakyat di desa-desa yang mengalami penderitaan. Tidak bolehkah aku melihat keadaan rakyat ayahku?” Tanya Raden Syahid
Mendengar itu, ibunya menjadi marah seraya berkata “Kau mau mengajari orang tua? Semua kebijakan ayahmu adalah baik. Siapapun tidak boleh menentangnya”.
“Baik menurut ayah belum tentu menurut rakyat” Jawab Raden Syahid.
“Lancang kamu! Kulaporkan kamu kepada ayahmu”, Bentak ibunya dengan nada marah.
Kemudian ibunya melapor kepada ayah Raden Syahid. Dan pada waktu itu juga Raden Syahid dipanggil menghadap.
“Duduklah Syahid!” Ujar ayahnya dengan wajah muram.
“Ada perlu apa ayah memanggilku?” Tanya Raden Syahid dengan sopan.
“Aku sudah mendengar semuanya dari ibumu?” Ujar ayahnya tanpa ragu.
“Tentang apa ayah?” Tanya Raden Syahid kalem.
“Tentang keadaan rakyat Tuban ini” Jawab ayahnya.
“Benar ayah, aku telah melihat sendiri rakyat ayah yang menderita kelaparan. Bukankah ayah selaku penguasa di Tuban ini yang menjadi tanggung jawab mereka?” Tanya Raden Syahid.
“Diam!”, Bentak ayahnya dengan keras.
Dengan tenang Raden Syahid berkata “Maaf ayah atas kelancanganku”.
“Kuperingatkan! Jangan sekali-kali kamu berkata begitu lagi, kali ini kamu ku ampuni” Ujar ayahnya.
“Tentunya kamu tahu bahwa kedudukan ayahmu ini hanyalah sebagai Adipati yang berada di bawah kekuasaan Raja. Kebijakan ayah yang jalankan selama ini atas perintah raja. Ayah tidak bisa mengambil kebijakan yang bertentangan dengan apa yang telah ditentukan oleh kerajaan. Dan kali ini kamu ayah peringatkan, jangan keluar dari Kadipaten untuk melihat keadaan desa-desa disekitar daerah Tuban ini”, Ujar ayah Raden Syahid meyakinkan.
Mendengar penuturan ayahnya itu, Raden Syahid diam tidak berkata-kata. Namun dalam hatinya menentang pendapat ayahnya itu yang bertindak masa bodoh terhadap rakyatnya. Jika kebijakan ayah seperti itu, lantas apa gunanya ayah sebagai Adipati. Dan yang paling memprihatinkan adalah nasib para petani yang setiap tahunnya diberi kewajiban membayar upeti atau semacam pajak yang begitu besar dari penghasilannya.
Itulah yang selalu mewarnai pikiran Raden Syahid yaitu suasana penderitaan rakyat Tuban yang dibawah kekuasaan ayahnya.

Raden Syahid Merampok
Saking tidak kuatnya Raden Syahid melihat penderitaan rakyat dari bahaya kelaparan yang semakin merajalela, sementara para penguasa enak-enakan. Tuan-tuan tanah dan orang-orang kaya enak-enakan menikmati kekayaannya. Tidak memperdulikan nasib fakir miskin dan rakyat jelata yang mati kelaparan. Akhirnya Raden Syahid yang masih berjiwa bersih itu memberanikan diri untuk tiap malam hari mengambil padi dan jagung serta bahan makanan lainnya di gudang Kadipaten dan diberikan kepada kaum fakir miskin yang membutuhkan.
Dalam melakukan aksinya ini, Raden Syahid menggunakan topeng sehingga tidak ada yang mengenalinya bahwa penolong fakir miskin itu adalah Raden Syahid sendiri.
Tetapi perbuatan Raden Syahid itu tidak dapat berlangsung lama, salah seorang punggawa Kadipaten memergoki lalu Raden Syahid dilaporkan kepada ayahnya, Adipati Tuban.
Karuan saja Adipati Tuban sangat marah karena pencurinya itu adalah anaknya sendiri. Raden Syahid mendapat hukuman berat. Kedua tangannya dicambuk dengan rotan sebanyak seratus kali.
Setelah menerima hukuman, Raden Syahid tidak kapok malah semakin menjadi-jadi. Tetapi kali ini tidak mengambil bahan-bahan makanan yang ada di gudang Kadipaten, melainkan merampok harta benda milik orang-orang kaya dan tuan tanah. Sayangnya ini juga tidak berlangsung lama. Sebab ada perampok lain yang menggunakan kesempatan ini. Perampok itu menyamar seperti Raden Syahid. Pakaian dan topengnya persis sama dengan apa yang dipakai Raden Syahid ketika melakukan aksinya.
Sudah barang tentu perampok yang menyamar sebagai Raden Syahid itu tidak membagi-bagikan hasil rampokannya kepada fakir miskin, melainkan dinikmatinya sendiri bersama anak buahnnya. Bahkan kadangkala memperkosa wanita-wanita yang dijumpainya.
Suatu ketika Raden Syahid memergoki sebuah rumah penduduk yang dijarah perampok. Penghuni rumah itu menjerit histeris meminta tolong. Raden Syahid segera memakai topeng dan langsung memberikan pertolongan. Segera Raden Syahid masuk ke rumah orang yang sedang di rampok itu. Tapi apa yang terjadi, perampok itu kabur. Sementara tangan Raden Syahid dipegang erat-erat oleh si penghuni rumah seraya menjerit meminta tolong kepada penduduk setempat.
Raden Syahid terjebak, beramai-ramai penduduk kampung menangkap Raden Syahid dan dibawa ke balai desa. Kepala desa segera ingin tahu lalu dibukanya topeng itu, namun betapa terkejutnya sang kepala desa setelah mengetahui bahwa perampok itu adalah Raden Syahid putra Adipati Tuban sendiri.
Tentu saja sang Adipati sangat marah, setelah mendengar bahwa Raden Syahid merampok dan memperkosa. Ibunya sendiri yang biasanya selalu membela tiap ada persoalan, kini marahnya bukan kepalang. Ketika ibunya melihat Raden Syahid datang, spontan ia berkata “Minggatlah kamu dari sini! Jangan coba-coba kamu injakkan kakimu di Kadipaten ini. Aku tidak sudi mempunyai anak seperti kamu, bikin malu orang tua!”
Sang Adipati sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Syahid yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.
Karena ibunya tidak mau menerima kehadiran Raden Syahid, akhirnya Raden Syahid pergi meninggalkan Kadipaten Tuban dan pergi jauh meninggalkan wilayah Kadipaten, mengembara tanpa tujuan.
Hanya ada satu orang yang tidak dapat mempercayai perbuatan Raden Syahid, yaitu Dewi Rasawulan adik Raden Syahid, dia itu berjiwa bersih, luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia pergi meninggalkan Kadipaten untuk mencari Raden Syahid.
Bertahun-tahun Raden Syahid mengembara hingga sampai sebuah hutan Jatiwangi, dan di hutan itulah Raden Syahid membegal dan merampok para pedagang kaya yang melewati hutan itu. Dari hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin.
Saking kondangnya perampok di hutan Jatiwangi, orang-orang menyebutnya Berandal Lokajaya. Semua orang takut, karena disamping sakti dia terkenal ganas dan sangat kejam.
Pada suatu hari ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya dari atas pohon. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dihadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi, direbutnya tongkat itu. Karena tongkat itu direbut dengan paksa, maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang itu bangun. Sepasang matanya mengeluarkan air walaupun tidak mengeluarkan suara tangis dari mulutnya. Raden Syahid pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa sinar matahari seperti emas. Raden Syahid heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu seraya berkata “Jangan menangis, ini tongkatmu ku kembalikan.”
“Bukan tongkat itu yang kutangisi” Ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditelapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat sia-sia. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.”
“Hanya beberapa rumput kau merasa berdosa?” Tanya Raden Syahid heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu tujuan atau keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!” Jawab lelaki itu.
Hati Raden Syahid agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” Tanya orang tua itu.
“Saya menginginkan harta.” Jawab Raden Syahid.
“Untuk apa?”
“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita” Jawab Raden Syahid.
“Heemmm, sungguh mulia hatimu, sayang caramu mendapatkannya yang keliru”
“Orang tua apa maksudmu!” Tanya Raden Syahid dengan suara tinggi.
“Boleh aku bertanya anak muda?” Desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh” Sahut Raden Syahid. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja”
Lelaki itu tersenyum, “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang di dapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya dengan mencuci pakaian yang kotor dengan air kencing tadi”
Raden Syahid tercekat. Laki-laki itu melanjutkan ucapannya, “Allah SWT itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.”
Raden Syahid semakin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih.
“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau merubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”
Raden Syahid semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau tidak mau bekerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata demikian lelaki itu, lalu lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Syahid terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira lelaki itu menggunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu menggunakan ilmu sihir, ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan ilmu sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas.
Selama beberapa saat Raden Syahid terpukau ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Syahid. Raden Syahid terjerembab ke tanah dan pingsan.
Ketika dia sadar, buah aren yang rontok tadi telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Syahid bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tidak ada di tempatnya semula.
Ucapan orangtua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Syahid mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat. Akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Syahid tak pernah bisa menyusulnya. Setelah tenaganya habis dia baru sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Syahid melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan tampaknya sungai itu dalam dan dengan apa dia harus menyeberang.
“Tunggu?” Ucap Raden Syahid ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
“Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid” Pinta Raden Syahid.
“Menjadi muridku?” Tanya orang tua itu tadi sembari menoleh kebelakang. “Mau belajar apa?”
“Apa saja, asal Tuan menerima saya sebagai murid”
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?”
“Saya bersedia”
Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Syahid diperintahkan untuk mengunggu tongkat itu dan tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya.
Raden Syahid bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Syahid terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan diatas daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air.
Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Syahid, lalu Raden Syahid duduk bersila di tepi sungai sambil menunggui tongkat lelaki tadi. Dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka dia segera berdo’a kepada Allah SWT supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Do’anya dikabulkan, Raden Syahid tertidur dalam semedhinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun berlalu lelaki itu datang menemui Raden Syahid. Tapi Raden Syahid tidak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan Adzan, Raden Syahid membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Syahid dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena lelaki berjubah putih itu tak lain adalah Sunan Bonang. Raden Syahid kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Syahid terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah sebagai penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan Kalijaga dari rangkaian bahasa Arab Qadli Zaka. Qadli artinya pelaksana, penghulu, sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi Qadlizaka yang menurut lidah Jawa berubah menjadi Kalijaga artinya pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan atau kesucian.

*****

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Wilatikta menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Syahid seketika berguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Syahid. Rahasia yang selama ini tertutup, akhirnya terbongkar sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Syahid tidak bersalah.

Ibu Raden Syahid menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang ibu tidak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya selama bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Untuk mengobati kerinduan sang ibu. Tidak jarang Raden Syahid mengerahkan ilmunya yang tinggi, yaitu membaca Al-Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Syahid yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding Kadipaten Tuban. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Syahid masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali.

Pada akhirnya dia kembali ke Kadipaten Tuban bersama adiknya Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.

Karena Raden Syahid tidak bersedia menggantikan ayahnya sebagai Adipati Tuban, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Syahid meneruskan pengembaraannya berdakwah menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru Suci se-Tanah Jawa karena setiap lapisan masyarakat dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir.

Konon menurut kabar, Sunan Kalijaga itu usianya termasuk lanjut sehingga dalam masa hidupnya beliau mengalami tiga kali masa pemerintahan yaitu zaman Kerajaan Majapahit, Kerajaan Islam Demak, dan zaman Kerajaan Pajang.

Beliau dimakamkan di Kadilangu Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah SWT. Amien..

RAHASIA CEPAT MENJADI MILYARDER BARU DARI INTERNET
MENGALIRKAN UANG KE REKENING BANK ANDA SECARA OTOMATIS
SEGERA KLIK DISINI
INFORMASI PENTING UNTUK PERUBAHAN HIDUP ANDA
MAU DAPAT UANG SETIAP HARI Rp.50.000 S/D Rp.500.000 SETIAP HARI
JIKA ANDA INGIN KIRIM SMS YANG BISA MENDAPATKAN UANG, MESKIPUN SMS YANG ANDA KIRIM ADALAH SMS GRATISAN DARI OPERATOR ANDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar